santet
dan mahluk halus itu ternyata energi yang bermuatan (-). Bumipun
ternyata memiliki muatan (-). Dalam hukum C Coulomb dikatakan bahwa
muatan yang senama akan saling tolak menolak dan muatan yang tidak
senama justru akan tarik menarik. Rumusnya :
F = K * ((Q1*Q2)/R^2)
F = gaya tarik menarik
K = Konstanta
Q1, Q2 = muatan
R = jarak
karena demit gennruwo pocong kuntilanak dan bumi itu sama-sama bermuatan (-)
makanya para demit itu tidaklah menyentuh bumi. Orang tua jaman dulu
juga sering mengingatkan jika bicara dengan orang yang tidak dikenal
pada malam hari maka lihatlah apakah kakinya menapak ke bumi atau tidak.
Jika tidak, maka ia berarti golongan mahluk halus.
teluh dan santaet juga memiliki kkekuatan bermuatan (-), maka secara
fisika bisa ditanggulangi atau ditangkal dengan hukum C Coulomb ini.
Disini kita tidak membahas
dengan zikir karena sudah banyak dibahas tapi kita akan mencoba
menawarkan alternatif lainnya yang bisa bersifat “standalone” (untuk non
muslim) maupun digabungkan dengan zikir (untuk muslim).
Beberapa Metodenya :
1. Tidurlah di lantai yang langsung menyentuh bumi.
Boleh gunakan alas tidur asal tidak lebih dari 15 Cm. Dengan tidur di
lantai maka santet kesulitan masuk karena terhalang muatan (-) dari
bumi.
2. Bagi yang peka spiritual, aura tanaman ini adalah terasa “dingin”. Pohon
yang memiliki muatan (-) diantaranya : dadap,tebu ireng, kelor, bambu
kuning,kaktus,palm dll. Tanaman sejenis ini paling tidak disukai mahluk halus.
Biasanya tanaman bermuatan (-) ini tidaklah mencengkram terlalu kuat di
tanah (bumi) dibandingkan dengan tanaman bermuatan (+)
Lain halnya dengan pohon yang memiliki muatan (+) seperti pohon asem,
beringin, belimbing, kemuning, alas randu, dll maka phohon sejenis ini
tentu akan menarik mahluk halus dan seringkali dijadikan tempat tinggal.
Hal ini dikarenakan ada gaya tarik menarik antara pohon (+) dan mahluk
halus (-) sesuai hukum C Coulomb.
3.sholat dan berdoa pada ALLAH SWT berserah diri dan memohon pertolongan pada ALLAH SWT insyaallah kita terhindar dari santet dan ilmu guna2.nah itulah sedidit tips dari saya untuk mencegah santet semoga bermanfaat buat teman2 semua..
Pada jaman dahulu nenek moyang kita menggunakan gerobak sebagai alat transportrasi utama bila mau berpergian ke luar kota,gerobak juga di gunakan pedagang jaman dahulu untuk mengangkut/mengirim barang ke suatu daerah lain.gerobak di tarik oleh 1 atau 2 ekor sapi yg sudah terlatih,gerobak di kendalikan oleh seorang kusir kalau di jawa terutama di SOLO,JOGJA dan sekitarnya orang2 memanggil kusir gerobak dng sebutan BAJINGAN,pasti anda berfikir kok namanya jahat banget hehehe.kalau tidak percaya coba aja cari di dalam buku kasusastran bhs.jawa cari apa nama sopir gerobak show pasti BAJIIINGAAAN.hahahaahaaa.
ini saya ada sedikit cerita tentang sopir gerobak kenapa di kasih nama bajingan,sebelum saya cerita yg punya penyakit jantung jangan baca cerita ini karena ceritanya serem banget,begini ceritanya pada jaman dahulu di daerah solo ada seorang pria yg pintar memanjat pohon,dia kalau memanjat pohon seperti tupai cepet sama sekali tidak takut ketinggian karena gerakanya seperti tupai kalau pas lagi manjat pohon maka dia di sebut MAS BAJING atau TUPAI,tupai dalam bahasa jawa adalah bajing.mas bajing tiap hari sering kebanjiran job di mintai tolong untuk mengunduh pohon kelapa,sehari dia bisa memanjat ratusan pohon kelapa di kampungnya dan daerah sekitar tempat tinggal mas bajing.sehingga mas bajing ini sangat terkenal dimana2.
selain bekerja sbg pemanjat pohon kelapa mas bajing juga mempunyai profesi sebagai kusir pengendali atau operator gerobak,tiap pagi hari para pedagang yg mau menjual barangnya pasti menunggu mas bajing untuk mengangkut barang daganganya,pada suatu hari mas bajing datangnya terlambat karena bangunya kesiangan dan para pedagang langgananya sudah berjam2 nunggu mas bajing tapi mas bajing tak kunjung datang2,mereka sangat kesal karena kalau kesiangan pasarnya keburu bubar pedagang dan pembelinya minggat semua dan daganganya pasti tidak laku.pada saat yg menegankan ini tiba dari tikungan jalan tampak sebuah gerobak sapi yg berjalan.alangkah senangya pedagang itu mereka bersorak sambil berteriak''HORE MAS BAJINGANE WIS TEKO,HORE MAS BAJINGANE WIS TEKO'' di situ banyak pedagang yg tidak mengenal mas bajing dia mengira bahasa gaul untuk memanggil kusir grobak itu bajingan,dan mulai saat itu dia di mana2 kalau ada grobak memanggil sopirnya dng panggilan mas bajingan,hingga populer sampai sekarang.
MANTRA UNTUK MENDAPATKAN ANGKA TOGEL ATAU HANGKONG POOLS
dulu waktu saya masih sekolah di STM pernah iseng membeli togel dan tembus 3 angka,saya belinya Rp.1000 saya jadikan empat @250 jadi dapat hadiah sekitar RP.87500 lumayan bisa untuk beli sempak 1 lusin hehehe.pada awalnya sepulang sekolah pas pulang sekolah sambil menunggu bis saya nongkrong di halte dan duduk manyun tiba2 ada orang yg datanglalu duduk sebelahku dia mengajaku ngobrol,dia menceritakan soal togel dan memberiku amalan untuk mendapatkan togel waktu itu di indonesia di sebut SDSB(sumbangan dermawan sosial berhadiah) pada masa presidenya pak soeharto dan mentri sosialnya adalah ibu.nanik soedarsono.amalan yg di berikan orang itu kucatat lalu kucoba di rumah wow ajaib saya bener2 mendapat petunjuk angka togel 3 angka tapi belinya harus di bolak balik waktu itu bila SDSB pengundianya di siarkan di radio secara langsung,dan saya tembus 3 angka yaitu dgn nomer seri 774.
itu cuma sekilas pengalaman saya tidak perlu panjang lebar saya akan share mantra dan ritual pemberian orang itu,nah ini dia mantranya:
FAKUBIHAKUN LAQAUN
ZAMUDIN ALLA TAK LAMU MAN
HALAKA WAHUWAL LATHIFUL
KHOBIR Baca 9x
CARA PENGGUNAAN:
1. baca lah mantra di atas sebayank 9x
2. kemudian di tiup kan ke telur ayam yang sudah di sediakan
3. lalu telur tersebut di letakan di kuburan pada malam hari
4. dan telur tersebut di ambil pada pagi hari
5 . lihat lah nomer togel yang anda ingin kan sudah ada di
telur.
WARNING:kalau angkanya yg muncul warnanya merah jangan di beli karena akan meminta tumbal nyawa hiiii...seremmm brow.
Dari dulu kucing hitam banyak di pergunakan oleh para dukun untuk tumbal dan ritual gaib,kali ini saya akan mengulas cara mempelajari ILMU MENGHILANG dgn menggunakan seekor kucing hitam,anda bisa membuktikan tapi reksiko di tanggung senndiri ya saya tidak mau menanggung hehehe.
nah ini caranya;
pertama2 tangkaplah kucing yag seluruh bulunya hitam mulus tanpa ada warna bercak warna lain,lalu di bungkus kain mori putih dan pada malam jum'at jam 12 kuburlah kucing itu hidup2 di tengah jalan umum yang biasa dilewati 0rang berlalu lalang,setelah 40 hari dan tepat malam jum'at lalu kita ambil dan di bawa pulang,setelah sampai di rumah lalu kita duduk di depan cermin dan bongkarlah bugkusan kucing tadi yg telah mejadi tulang,lalu kita pilih satu persatu kita pegang sambil menghadap cermin dan apabila kita memegang tulang dan menghadap ke cermin tubuh kita menghilang atau tidak kelihatan nah itu tulang yg bisa di pergunakan untuk jimat ilmu menghilang,tulang yg lainya bisa kita buang,lalu tulang yg kita gunakan untuk jimat tadi kita bungkus dng mori yg kita gunakan untuk mengubur kucing tadi,jimat itu tadi kalau mau menggunakan cukup di kantongi dan cliiinngggg tubuh kita menghilang orang lain tidak bisa melihat kita.
WARNING:
awas jangan di gunakan untuk ngutil atau maling ya xixixi
resik tanggung sendiri.
Ramuan Jahe dan kencur jahe bisa menghangatkan tubuh selain itu juga
dapat mengobati batuk berdahak. Bagi Anda yang sekarang sedang terserang
batuk berdahak, cobalah meminum sari Jahe hangat minimal sehari sekali.
Untuk membuat ramuan jahe dan kencur caranya cukup mudah, yaitu pertama
anda harus menyediakan jahe sebanyak 2 jari / secukupya dan kencur
secukupnya. Setelah itu iris jahe dan kencur tersebut, baru kemudian
direbus dengan air secukupnya. Setelah itu saring air rebusan jahe dan
kencur tadi, lalu anda minum, minimal 1 hari sekali.
Jeruk nipis di campur madu Jeruk Nipis jika
dicampurkan dengan kecap atau madu telah lama dipercaya ampuh dalam
mengobati batuk berdahak. Caranya sediakan 1 atau secukupnya jeruk nips,
kemudian potong jadi 2 bagian. Setelah itu peras air jeruk nipis
tersebut kemudian campurkan dengan madu . Selanjutnya anda minum 2-3
kali dalam sehari.
Daun Sirih dan JaheSeperti yang telah kita ketahui, bahwa
daun sirih memang mempunyai sejuta manfaat. Misalnya saja bisa digunakan
untuk mengobati keputihan dsb. Selain itu ternyata daun Sirih juga bisa dijadikan sebagai obat
untuk mengatasi batuk berdahak. Caranya dengan merebus daun Sirih
secukupnya kemudian campurkan dengan potongan Jahe. Setelah itu air
rebusannya diminum sebanyak minimal 1x / hari, tujuannya yaitu untuk
menjaga agar tubuh tetap hangat dan sehat.
Ramuan Herbal Untuk Mengatasi Batuk Kering
Sedangkan untuk mengobati batuk kering anda dapt membuat beberapa ramuan dari beberapa bahan alami berikut ini :
Daun Kemangi
Daun kemangi selain enak buat lalap juga bisa untuk mengobati batuk. Cara pengolahannya yaitu, sediakan 5-7
lembar daun kemangi, kemudian rebus dalam 1-2 gelas air, saringlah air
rebusan dari daun kemangi tersebut dan minum air rebusan daun kemangi
tersebut minimal 1x/ hari hingga batuk anda benar-benar sembuh
Belimbing wuluh
Sediakan 1 gerobak buah blimbing wuluh, kemudian cuci dan haluskan
menggunakan blender. Selanjutnya campurkan dengan 1 cangkir air masak
dan sedikit garam. Kemudian peras dan saring campuran buah belimbing
wuluh tersebut dan minumlah 2 x sehari setiap pagi dan petang hingga
batuk anda sembuh.
Kencur
ambil 3 rimpang kencur, kemudian cuci dan kunyah halus
dengan sedikit garam. Kemudian telan sambil dibantu dengan meminum air
hangat. Lakukan pengobatan ini 2 x sehari, pagi dan sore hari.
Kunyit
Selain ampuh mengobati penyakit maag, ternyata kunyit juga bisa dijadian
sebagai obat batuk, terutama untuk batuk kering. Cara pembuatannya
adalah tambahkan 1/2 sendok teh kunyit yang telah ditumbuk dan madu ke
dalam satu gelas susu. Kunyit mempunyai khasiat alami yang bisa
menghilangkan batuk.
Bunga mawar Selain buat tanaman hias, ternyata juga berkhasiat untuk mengatasi batuk. caranya
cukup mudah, ambil bunga mawar segar secukupnya tapi jng nyolon hehehe,
kemudian d godog dengan air secukupnya dan tambahkan gula batu secukupnya.
Minum sebanyak dua kali sehari, hingga batuk anda berkurang dan akan sembuh
Daun asam muda
juga dapat berfungsi menyembuhkan batuk kering. Caranya, ambil daun asam
muda setengah genggam, kemudian campurkan dengan daun saga manis, kayu
manis, dan gula batu secukupnya. Rebus dengan api kecil sampai mendidih
dan saring. Ramuan obat siap untuk diminum.
Campuran Teh dan Jahe
Kalau untuk teh dan jahe mungkin anda semua sudah tahu manfaatnya.
Selain enak, teh dan jahe juga punya banyak manfaat yang salah satunya
yaitu sebagai obat penyembuh batuk. Caranya yaitu, sediakan 1 jari jahe
dan segelas teh hangat / agak panas. Setelah itu cuci bersih jahe
tersebut dan iris2, selanjutnya campurkan dengan teh yang diseduh dengan
air hangat/agak panas tadi. Setelah itu minumlah 2x/hari.
Bila anda mumet atau pusing karena mikir utang,maka hari2 anda akan serasa di neraka dunia gelap gulita dan merasa sedih siang dan malam iyo opo ora brow ,ini tak kasih amalan dan doa permohonan sama ALLAH SWT supaya kita di beri kelancaran rezeki serta di bebaskan dari hutang yg melilit leher kita,yaitu dngan membaca(surat Al-Imran: 26-27),syaratya harus kushuk dan iklhas serta sllu berusaha tanpa putus asa,inilah bacaan dan doa yg harus di amalkan:
Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli `ala Muhammadin wa âli Muhammad
Qulillâhumma âlikal mulki tu’til mulka
man tasyâu wa tanzi’ul mulka mimman tasyâu, wa tu’izzu man tasyâu wa
tudzillu man tasyâu, biyadikal khayru innaka ‘alâ kulli syay-in qadîr.
Tûlijul layla fin nahâri wa tûlijun nahâra fil layli, wa tukhrijul hayya
minal mayti wa tukhrijul mayyita minal hayyi wa tarzuqu man tasyâu
bighayri hisâb.
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Engkau masukkan malam ke dalam siang
dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup
dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan
Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan
(batas).” (Ali-Imran: 26-27).
Caranya Mengamalkan Pertama: Dua ayat tersebut dibaca (40 kali) selama 40 hari. Kedua: Setiap sesudah membaca dua ayat tersebut membaca Yâ Allâh (3 kali). Kemudian membaca doa berikut (3 kali):
Antallâhu lâ ilâha illâ Anta wahdaka lâ
syarîka lak, tajabbarta ay yakûna laka walad, wa ta’âlayta ay yakûna
laka syarîk, wa tazhzhamta ay yakûna laka wazîr. Yâ Allâhu Yâ Allâhu Yâ
Allâh, iqdhi hâjatî bihaqqi Muhammadin wa âlihi shalawâtuka ‘alayhi wa
‘alayhim ajma’în.
Engkaulah Allah tiada Tuhan kecuali
Engkau Yang Maha Esa tida sekutu bagi-Mu. Terlalu Agung Engkau untuk
mempunyai anak, Terlalu Tinggi Engkau untuk memiliki sekutu, Terlalu
Besar Engkau untuk mempunyai menteri. Ya Allah Ya Allah Ya Allah,
tunaikan hajatku dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad. Semoga semua
shalawat-Mu selalu tercurahkan kepadanya dan kepada mereka semua.
Untuk Menunaikan hutang
Syeikh Ath-Thabrasi meriwayatkan bahwa Mu’adz bin Jabal berkata: Pada
suatu hari aku tidak shalat Jum’at bersama Rasulullah saw. Lalu beliau
bertanya: “Wahai Mu’adz, mengapa kamu tidak shalat Jum’at? Mu’adz
menjawab: Orang yahudi menghadangku di pintu rumahku karena hutangku,
lempengan emas, sudah jatuh tempo. Tidak ada yang menaruh kasihan padaku
selainmu, orang yahudi itu mau memasukkan aku ke penjara. Kemudian
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Mu’adz, maukah kamu Allah yang
menunaikan hutangmu? Mu’ad menjawab: Ya mau, ya Rasulullah. Rasulullah
saw bersabda: “Bacalah (ayat tersebut di atas):
Yâ Rahmânad dun-ya wak-âkhirah wa rahîmahumâ, tu’thî minhumâ man tasyâ’, wa tamna’u minhumâ man tasyâ’, iqdhi ‘annî daynî.
Wahai Yang Maha Pengasih dunia dan
akhirat, Yang Maha Penyayang dunia dan akhirat, Engkau memberikan dari
keduanya apa yang Engkau kehendaki, dan Engkau menahan dari keduanya apa
yang Engkau kehendaki, tunaikan hutangku.
Sekiranya kamu butuhkan bumi dipenuhi oleh emas, niscaya Allah menunaikan hutangmu.”
siapa yg suka masang togel dan tidak tau cara mengolah angka,inai tak kasih trik dan tips gratis cara mengolah angka kalau di temapatku namanya nyonji,perhatikan dan simak baik2 pusatkan pikiran ini dia tipsnya:
1. Kelompok Tinggi-Rendah
Nomor
yang keluar tersebar diseluruh bidang nomor antara 00 – 99, ambillah
seluruh nomor kemudian potong dua, maka kita memiliki setengah rendah
dan setengah tinggi.Dalam sebuah permainan 100-an nomor, nomor 00-49
berada pada kelompok rendah dan 50-99 berada pada kelompok tinggi. Jika
kita memiliki 12 nomor terpilih cobalah untuk mengambil nomor dengan
gabungan 4/8, 8/4, atau 6/6 yaitu 4 nomor pada kelompok rendah dan 8
nomor pada kelompok tinggi, atau 8 nomor pada kelompok rendah dan 4
nomor pada kelompok tinggi, atau 6 nomor pada kelompok rendah dan
tinggi.
2.Kelompok Ganjil-Genap
Jika kita memiliki 12
nomor pilihan, Cobahlah untuk mengambil gabungan 4/8, 8/4, atau 6/6 dari
ganjil genap, yaitu 4 nomor pada kelompok ganjil dan 8 nomor pada
kelompok genap, atau 8 nomor pada kelompok ganjil dan 4 nomor pada
kelompok genap, atau 6 nomor pada kelompok ganjil dan genap.
3. Kelompok Shio
kelompok shio terdiri dari tiga kelompok yaitu
kelompok 1 : shio 1, 4, 7, 10
kelompok 2 : shio 2, 5, 8, 11
kelompok 3 : shio 3, 6, 9, 12
fungsi dari kelompok shio akan memperkecil nomor terpilih dari yang kita miliki.
4. Kelompok Jumlah
setelah
anda memiliki 12 nomor yang akan bermain, usahakan jumlah dari
keseluruhan 12 nomor yang terpilih berada diantara 368 sampai dengan
828. jumlah ini akan berada pada jangkauan 70 % dari nomor togel yang
akan keluar.
5. Kelompok Individu
Perbanyak
referensi, ikutlah forum atau kelompok togel disekitar lingkungan kita
sebagai bahan sharing dengan nomor pilihan yang kita miliki.
1. Kita bermain Hanya dengan 2D dengan jumlah angka 100 yaitu 00-99
2.
Anda harus betting 75 angka dalam satu putaran,dan mematikan 25 angka,
saya harap anda mengerti dalam tahap ini.Contoh anda membeli atau
betting nomor 00-75 dan mematikan angka 76-99 .
3. Berapa modal
untuk membeli 75 angka tersebut ? Jika anda membeli dikali 1 berarti 75
angka dikali 710(harga pasaran togel online 2D) = 53.250 . Berarti modal
awal kita 53.250. Jika dikali 2 berapa modal awal kita ? 53.250 X 2 =
106.500 .Semakin besar modal kita semakin banyak nilai kemenangan
tentunya.
4. Berapa hasil kemenangan dengan memakai trik seperti
ini ? sekarang mari kita kalkulasikan secara rinci : modal 53.250 jika
dikali 1 atau 1000. Jika anda menang berarti anda mendapatkan 70.000.
Hasil kemenangan 70.000 dikurang modal 53.250 = 16.750
5. Berarti
hasil kemenangan kita adalah 16.750 itu jika kita betting dikali 1 loh…
atau kali 1000. Bagaimana jika kita betting dikali 5 atau 5000 atau
kali 10.000 ? Silahkan hitung sendiri berapa kemenangan anda.
6.
Andaikan anda dapat menembus kemenangan 10 putaran dengan betting setiap
angka 5000 .Mari kita kalkulasikan kembali, jika betting dikali 1 atau
1000 kita sudah menang 16.750, jika dikali 5 berarti 16.750 X 5 =
83.750. Bagaimana jika tembus 10 kali putaran , 10 X 83.750 = 837.500,
apakah menurut anda itu belum hasil yang lebih dari cukup ?
7.
Lalu bagaimana jika gagal . Karena itu kita harus pintar-pintar untuk
mematikan angka sebanyak 25 angka tersebut.Jangan terlalu bernafsu
,ingat Tak ada yang sukses tanpa KEGAGALAN …tetaplah berusaha…!!!
Apakah anda pernah melihat kepala orang yg botak atau mungkin anda sendiri mengalami kebotakan,yg di sebabkan kerontokan rambut akibat terlalu sering untuk memikirkan utang hehehe.tenang aja ini saya kan memberikan tips untuk mengatasi kerontokan jembot dgn media daun mangkokan,gambar seperti di atas kalau di tempat anda menyebutnya daun apa,tapi kebanyakan menyebutnya daun mangkoan,tidak perlu berpanjang lebar langsung aja inilah cara mengatasi kebotakan dgn daun mangkoan:
Ambillah daun mangkokan tua secukupnya .
Siapkan minyak kelapa atau minyak goreng secukupnya .
Cucilah daun mangkokan sampai bersih, lalu giling sampai halus .
Imbuhkan minyak kelapa sembari diaduk-aduk sampai jadi bubur .
Saring serta peras untuk di ambil airnya .
Hasil perasan air itu di oleskan pada
kuit kepala sembari dipijat mudah sampai jadi kering. Lalu cucilah
rambut sampai bersih. Kerjakan 2 sampai 3 kali satu hari tiap-tiap
minggu. Bila dikerjakan dengan teratur, biasanya bakal tunjukkan hasil
kurun waktu sebulan.
1.Khasiat surat Al-Fatihah yang
pertama adalah untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia.
Caranya: bacalah surat Al-Fatihah sebanyak 41 kali sesudah shalat sunnah
qabliyah subuh (shalat sunnah sebelum sholat fardhu subuh) secara terus
menerus.
2. Supaya rezeki lancar dan tercapai cita-cita. - Maka
jika Anda ingin pangkat keduniawian insya Allah akan berhasil, jika Anda
miskin maka bisa menjadi kaya, jika punya hutang bisa segera lunas,
jika sakit segera sembuh, jika lemah menjadi kuat, menjadikan seseorang
mulia, ditakuti musuh, semua orang akan mencintai, semua kata-katanya
akan diperhatikan dan dipercaya oleh masyarakat, dan selamat dari segala
bencana.
3. Mengobati segala jenis penyakit - Khasiat membaca
surat Al-Fatihah yang kedua adalah supaya rezeki mudah mengalir dengan
lancar dan tercapai cita-citanya. Caranya: bacalah surat Al-Fatihah
sebanyak 21 kali setiap selesai shalat fardhu secara terus menerus, maka
insyaallah rezeki Anda akan selalu mengalir bagai air bah, dijaga dari
segala macam kejahatan, dimuliakan masyarakat, dan berhasil semua maksud
atau cita-cita yang ingin dicapai.
4. Melepas tali atau membuka
gembok - Mengenai khasiat surat Al-Fatihah untuk penyembuhan penyakit,
terdapat hadist riwayat Ibnu Abbas ra ketika Rasulullah SAW mengobati
cucunya Hasan yang sedang sakit keras dan berhasil sembuh dengan segera
berkat khasiat surat Al-Fatihah.
5. Menghilangkan kebingungan
dalam hati dan pikiran - Apabila terdapat seorang muslim yang sedang
dirantai atau dikunci di dalam suatu ruangan tertutup, maka dia bisa
menggunakan khasiat surat Al-Fatihah untuk keselamatan diri. Caranya
adalah: bacalah surat Al-Fatihah sebanyak 121 kali dengan hati yang
khusyu’ diarahkan ke rantai atau gembok. Kemudian ditiupkan ke arah
rantai atau gembok tadi 10 kali, insyaallah gembok akan terlepas atau
terbuka.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran
kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu,
semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya
untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang
mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing
hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir
gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika
dene ta kaliwat-liwat”
Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di
pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech
Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia?
Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun
itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia
di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam
Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan
sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir
dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum
mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang
winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo
Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi
pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang
mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang
dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah
manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih
kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak
inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen
Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah
isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para
demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan
serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh
Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai
tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan
anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa
jin dan demit,butho cakil,buto terong,banaspati,medi tempek,barang siapa masuk ke pulau jawa pasti akan jadi santapan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana
manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula
sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih
dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia,
masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini
sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar
dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan
manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak
sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada
intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.
Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan
sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan
silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra
dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang
Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang
Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah
Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak
Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad
Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal.
Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang
Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian
pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek”
Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad
Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana
kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi
terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan
Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas
(saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur
Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis
pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti
kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun
(sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet
dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam
sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku
Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke
Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa
sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian
terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati”
kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini
kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun
sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning
(pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng
Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal
dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka
orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau
menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku
Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu
230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam
siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak
akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari
berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak
versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian,
menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua
di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan
dunia manapun.
Syekh Subakir, sangat
berjasa dalam menumbali tanah Jawa, ”Dalam legenda yang beredar di Pulau
Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Negeri Arab, untuk
menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada
umumnya tapi telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada
waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh
gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para
ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang
sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang
kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan
gagal. Maka diutuslah Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan
membawa batu hitam yang dipasang oleh Syekh Subakir di seantero
Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di
gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu
hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan
mahluk halus lainnya. Syekh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari
mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu
sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di
tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu
wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syekh Subakir. Kata Jin, “Aku masih
dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang
imannya masih lemah”.
Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir
berasal dari Rum). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama
dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I
dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404,
Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir
berasal dari Rum, Baghdad). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa
bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh
Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa
pada tahun 1404, mereka diantaranya:
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli
pengobatan.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
Maulana Hasanudin, dari Palestina.
Maulana Aliyudin, dari Palestina.
Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang
dihuni jin jahat.
Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, bahwa sudah
beberapa kali utusan dari Arab didatangkan untuk menyebarkan Agama Islam
di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, tapi selalu gagal
secara makro. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Jawa pada
waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Masyarakat masih senang
menyembah barang-barang bertuah dan ruh-ruh yang diyakininya dapat
membimbing, memberi ilham dan menolong mereka.
Dengan tokoh-tokoh gaibnya, para tokoh masyarakat masih sangat menguasai
bumi dan laut di sekitar Pulau Jawa. Para ulama yang dikirim untuk
menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat. Meskipun
berkembang, tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa
berkembang secara luas. Artinya, secara makro dapat dikatakan gagal.
Karena itu, maka diutuslah Syeh Subakir yang dikenal memang sakti
mandraguna. Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah yang
terkait magic dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang
diterimanya Islam oleh masyarakat yang masih demen ilmu-ilmu mistik.
Untuk menyebarkan agama Islam, menurut cerita yang berkembang, Syekh
Subakir membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk
tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek
dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan
gejolak, mengamuklah para mahluk: Jin, setan dan mahluk halus lainnya.
Syeh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi
mereka sesumbar dengan berkata: “Ya Syekh, walaupun kamu sudah mampu
meredam amukan kami dan kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah
Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai
Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih
dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang
imannya masih lemah”.
Tidak salah bila kemudian, gunung Tidar dikenal dengan Paku Tanah Jawa.
Gunung Tidar tak terpisahkan dengan pendidikan militer. Gunung yang
dalam legenda dikenal sebagai "Pakunya tanah Jawa" itu terletak di
tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan
laut, Gunung Tidar memiliki sejarah dalam perjuangan bangsa. Di Lembah
Tidar itulah Akademi Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak
perwira pejuang Sapta Marga berdiri pada 11 November 1957.
Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas. Di tengah lapangan
tersebut terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti
pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan
juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan
Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya
Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.
Gunung Tidar tidak hanya terkenal sebagai ikon atau identitas Kota
Magelang. Bagi sebagian orang yang memang nglakoni lelaku spiritual ,
Gunung Tidar merupakan salah satu obyek yang menjadi tempat tujuan
mereka untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Dahulu, Gunung Tidar
terkenal akan ke-angker-annya dan menjadi rumah bagi para Jin dan
Makhluk Halus. Jalmo Moro Jalmo Mati, setiap orang yang datang ke Gunung
Tidar bisa dipastikan kalau tidak mati ya modar (dan mungkin hal ini
yang menjadi asal usul nama Tidar).
Berdasarkan penuturan Juru Kunci Gunung Tidar, di Gunung Tidar terdapat 2
buah makam yaitu Makam Kyai Sepanjang dan Makam Sang Hyang Ismoyo (atau
yang lebih dikenal sebagai Kyai Semar). Sedangkan tempat yang selama
ini dikenal sebagai Makam Syekh Subakir sebenarnya hanyalah petilasan
beliau.
Jadi, beliau dikenal sebagai wali Allah yang menaklukkan Jin dan
Makhluk Halus di Gunung Tidar sehingga para makhluk halus tersebut
‘mengungsi’ ke Pantai Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah berhasil
menaklukkan Jin dan Makhluk Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah
asalnya di Rom (Baghdad). Di petilasan Syekh Subakir ini tersedia
mushola kecil dan pendopo. Petilasan Syekh Subakir sebelumnya ditandai
dengan adanya kijing yang terbuat dari kayu. Setelah dipugar, kijing
tersebut diletakkan di pendopo dan diganti dengan batu fosil yang
berasal dari Tulung Agung serta dikelilingi pagar tembok yang berbentuk
lingkaran dan tanpa atap.
Pada tahap berikutnya, kedudukan Syekh Subakir, Sang Babad Tanah Jawa
sebagai salah satu Wali Songo, digantikan oleh Sunan Kalijaga yang
banyak disebut-sebut pimpinan para wali di Tanah Jawa karena
kekeramatannya yang begitu melegenda.
ADA satu kisah menarik dalam petilan “Babad Tanah Jawa”. Meskipun
kisah ini merupakan petilan. Namun intisari yang tertanam di dalamnya,
ternyata tetap masih aktual di saat ini sekali pun. Ketika itu,
datanglah para ulama dari “Sebrang Lautan” (Mesir) ke Tanah Jawa. Tujuan
para ulama utusan Sultan Mesir itu adalah untuk menyebarkan agama
Islam, yang menurut laporan masih banyak penduduk Jawa yang kafir. Para
ulama itu dipimpin seorang Syeh yang bernama Syech Subakir Sebelum Syech
Subakir datang, telah beberapa kali ulama pendahulunya menginjakan
kakinya di Tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu gagal
menyebarkan agama Islam. Mengapa? Pertanyaan itulah yang berada di benak
Syech Subakir. Dan tidak berapa lama setelah sampai ke Tanah Jawa,
Syech asal Persia (Iran) itu berhasil mendapatkan jawaban dari
pertanyaannya tersebut. Ternyata, seluruh Tanah Jawa dari ujung Timur
sampai ke Barat di jaga oleh bangsa jin yang dipimpin Sabdo Palon.
Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah mereka, para jin
kafir yang tidak mau masuk Islam dan menentang Islam berkembang di Tanah
Jawa. Untungnya, Syech Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus,
sehingga dia dan para ulama yang dipimpinnya berhasil mengetahui
keberadaan para jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para mahluk halus
itu ada yang berujud ombak yang besar yang mampu menenggelamkan kapal
berikut penumpangnya. Juga angin puting beliung, dan sebagainya yang
mampu memporak- porandakan apa saja yang ada dihadapannya, termasuk
menjelma menjadi hewan buas, harimau, ular dan sebangsanya. Perubahan
bentuk dan ujud itulah yang selama ini diduga mencelakakan para ulama
yang bermaksud menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Maka kemudian terjadilah
pertempuran yang dasyat antara para jin pimpinan Sabdo Palon dengan
pasukan ulama pimpinan Syech Subakir. Konon, pertempuran itu terjadi
selama berhasi- hari, tanpa ketahuan siapa yang bakal memenangkannya.
Karena melihat situasi yang tidak menguntungkan, maka Sabdo Palon
mengajukan usulan gencatan senjata. Syech Subakir yang melihat itu
sebuah peluang, menerima ajakan Sabdo Palon. Maka terjadilah kesepakatan
antara keduanya. Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi
kesempatan kepada Syech Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan
Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan cara paksaan atau
memaksa. Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam
untuk berkuasa di Tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan. Para
Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan
adapt istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam
sesuai dengan kitab yang dakuinya, tetapi biarlah adapt dan budaya
berkembang sedemikian rupa. Dan yang terpenting, jadi pemimpin janganlah
terlalu lurus, namun juga jangan terlampau bengkok. Hal ini sempat
dipertanyakan Syech Subakir kepada Sabdo Palon, mengapa seorang pemimpin
tidak boleh benar-benar lurus. Dijawab Sabdo Palon, karena pemimpin itu
menjadi pimpinan semua orang. Dan orang tidak semuanya lurus, pasti
banyak pula yang bengkok. Lha, orang yang bengkok-bengkok itu akan ikut
siapa, bila pemimpinnya lurus?
Legenda Gunung Tidar Magelang
Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu
dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan --sebagaimana
dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman dahulu kala,
ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam
bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut
senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun
dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak.
Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut
akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung
Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang
kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang
berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai
“pakuning tanah jawa”.
Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam mengisahkan
bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang
diperintah oleh dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama
Islam, datang ke daerah ini untuk berdakwah. Tidak rela atas kedatangan
Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin melawan sang
Syekh. Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin
dan istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan
Nyai Rara Kidul yang merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin
bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali rakyat didaerah ini rela
menjadi pengikut Syekh Subakir.
Legenda ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak
sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan
sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah
disebutkan dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular
menjadi kepercayaan masyarakat. Apalagi pemerintah kota Magelang
menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan menempatkan
gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo
pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan
nama Tidar, seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi,
nama terminal dll. Yang semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi
legenda abadi.
Syekh Subakir, sangat
berjasa dalam menumbali tanah Jawa, ”Dalam legenda yang beredar di Pulau
Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Negeri Arab, untuk
menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada
umumnya tapi telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada
waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh
gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para
ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang
sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang
kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan
gagal. Maka diutuslah Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan
membawa batu hitam yang dipasang oleh Syekh Subakir di seantero
Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di
gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu
hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan
mahluk halus lainnya. Syekh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari
mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu
sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di
tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu
wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syekh Subakir. Kata Jin, “Aku masih
dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang
imannya masih lemah”.
Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir
berasal dari Rum). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama
dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I
dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404,
Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir
berasal dari Rum, Baghdad). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa
bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh
Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa
pada tahun 1404, mereka diantaranya:
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli
pengobatan.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
Maulana Hasanudin, dari Palestina.
Maulana Aliyudin, dari Palestina.
Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang
dihuni jin jahat.
Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, bahwa sudah
beberapa kali utusan dari Arab didatangkan untuk menyebarkan Agama Islam
di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, tapi selalu gagal
secara makro. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Jawa pada
waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Masyarakat masih senang
menyembah barang-barang bertuah dan ruh-ruh yang diyakininya dapat
membimbing, memberi ilham dan menolong mereka.
Dengan tokoh-tokoh gaibnya, para tokoh masyarakat masih sangat menguasai
bumi dan laut di sekitar Pulau Jawa. Para ulama yang dikirim untuk
menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat. Meskipun
berkembang, tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa
berkembang secara luas. Artinya, secara makro dapat dikatakan gagal.
Karena itu, maka diutuslah Syeh Subakir yang dikenal memang sakti
mandraguna. Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah yang
terkait magic dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang
diterimanya Islam oleh masyarakat yang masih demen ilmu-ilmu mistik.
Untuk menyebarkan agama Islam, menurut cerita yang berkembang, Syekh
Subakir membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk
tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek
dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan
gejolak, mengamuklah para mahluk: Jin, setan dan mahluk halus lainnya.
Syeh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi
mereka sesumbar dengan berkata: “Ya Syekh, walaupun kamu sudah mampu
meredam amukan kami dan kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah
Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai
Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih
dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang
imannya masih lemah”.
Tidak salah bila kemudian, gunung Tidar dikenal dengan Paku Tanah Jawa.
Gunung Tidar tak terpisahkan dengan pendidikan militer. Gunung yang
dalam legenda dikenal sebagai "Pakunya tanah Jawa" itu terletak di
tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan
laut, Gunung Tidar memiliki sejarah dalam perjuangan bangsa. Di Lembah
Tidar itulah Akademi Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak
perwira pejuang Sapta Marga berdiri pada 11 November 1957.
Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas. Di tengah lapangan
tersebut terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti
pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan
juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan
Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya
Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.
Gunung Tidar tidak hanya terkenal sebagai ikon atau identitas Kota
Magelang. Bagi sebagian orang yang memang nglakoni lelaku spiritual ,
Gunung Tidar merupakan salah satu obyek yang menjadi tempat tujuan
mereka untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Dahulu, Gunung Tidar
terkenal akan ke-angker-annya dan menjadi rumah bagi para Jin dan
Makhluk Halus. Jalmo Moro Jalmo Mati, setiap orang yang datang ke Gunung
Tidar bisa dipastikan kalau tidak mati ya modar (dan mungkin hal ini
yang menjadi asal usul nama Tidar).
Berdasarkan penuturan Juru Kunci Gunung Tidar, di Gunung Tidar terdapat 2
buah makam yaitu Makam Kyai Sepanjang dan Makam Sang Hyang Ismoyo (atau
yang lebih dikenal sebagai Kyai Semar). Sedangkan tempat yang selama
ini dikenal sebagai Makam Syekh Subakir sebenarnya hanyalah petilasan
beliau.
Jadi, beliau dikenal sebagai wali Allah yang menaklukkan Jin dan
Makhluk Halus di Gunung Tidar sehingga para makhluk halus tersebut
‘mengungsi’ ke Pantai Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah berhasil
menaklukkan Jin dan Makhluk Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah
asalnya di Rom (Baghdad). Di petilasan Syekh Subakir ini tersedia
mushola kecil dan pendopo. Petilasan Syekh Subakir sebelumnya ditandai
dengan adanya kijing yang terbuat dari kayu. Setelah dipugar, kijing
tersebut diletakkan di pendopo dan diganti dengan batu fosil yang
berasal dari Tulung Agung serta dikelilingi pagar tembok yang berbentuk
lingkaran dan tanpa atap.
Pada tahap berikutnya, kedudukan Syekh Subakir, Sang Babad Tanah Jawa
sebagai salah satu Wali Songo, digantikan oleh Sunan Kalijaga yang
banyak disebut-sebut pimpinan para wali di Tanah Jawa karena
kekeramatannya yang begitu melegenda.
ADA satu kisah menarik dalam petilan “Babad Tanah Jawa”. Meskipun
kisah ini merupakan petilan. Namun intisari yang tertanam di dalamnya,
ternyata tetap masih aktual di saat ini sekali pun. Ketika itu,
datanglah para ulama dari “Sebrang Lautan” (Mesir) ke Tanah Jawa. Tujuan
para ulama utusan Sultan Mesir itu adalah untuk menyebarkan agama
Islam, yang menurut laporan masih banyak penduduk Jawa yang kafir. Para
ulama itu dipimpin seorang Syeh yang bernama Syech Subakir Sebelum Syech
Subakir datang, telah beberapa kali ulama pendahulunya menginjakan
kakinya di Tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu gagal
menyebarkan agama Islam. Mengapa? Pertanyaan itulah yang berada di benak
Syech Subakir. Dan tidak berapa lama setelah sampai ke Tanah Jawa,
Syech asal Persia (Iran) itu berhasil mendapatkan jawaban dari
pertanyaannya tersebut. Ternyata, seluruh Tanah Jawa dari ujung Timur
sampai ke Barat di jaga oleh bangsa jin yang dipimpin Sabdo Palon.
Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah mereka, para jin
kafir yang tidak mau masuk Islam dan menentang Islam berkembang di Tanah
Jawa. Untungnya, Syech Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus,
sehingga dia dan para ulama yang dipimpinnya berhasil mengetahui
keberadaan para jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para mahluk halus
itu ada yang berujud ombak yang besar yang mampu menenggelamkan kapal
berikut penumpangnya. Juga angin puting beliung, dan sebagainya yang
mampu memporak- porandakan apa saja yang ada dihadapannya, termasuk
menjelma menjadi hewan buas, harimau, ular dan sebangsanya. Perubahan
bentuk dan ujud itulah yang selama ini diduga mencelakakan para ulama
yang bermaksud menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Maka kemudian terjadilah
pertempuran yang dasyat antara para jin pimpinan Sabdo Palon dengan
pasukan ulama pimpinan Syech Subakir. Konon, pertempuran itu terjadi
selama berhasi- hari, tanpa ketahuan siapa yang bakal memenangkannya.
Karena melihat situasi yang tidak menguntungkan, maka Sabdo Palon
mengajukan usulan gencatan senjata. Syech Subakir yang melihat itu
sebuah peluang, menerima ajakan Sabdo Palon. Maka terjadilah kesepakatan
antara keduanya. Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi
kesempatan kepada Syech Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan
Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan cara paksaan atau
memaksa. Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam
untuk berkuasa di Tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan. Para
Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan
adapt istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam
sesuai dengan kitab yang dakuinya, tetapi biarlah adapt dan budaya
berkembang sedemikian rupa. Dan yang terpenting, jadi pemimpin janganlah
terlalu lurus, namun juga jangan terlampau bengkok. Hal ini sempat
dipertanyakan Syech Subakir kepada Sabdo Palon, mengapa seorang pemimpin
tidak boleh benar-benar lurus. Dijawab Sabdo Palon, karena pemimpin itu
menjadi pimpinan semua orang. Dan orang tidak semuanya lurus, pasti
banyak pula yang bengkok. Lha, orang yang bengkok-bengkok itu akan ikut
siapa, bila pemimpinnya lurus?
Legenda Gunung Tidar Magelang
Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu
dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan --sebagaimana
dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman dahulu kala,
ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam
bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut
senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun
dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak.
Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut
akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung
Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang
kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang
berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai
“pakuning tanah jawa”.
Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam mengisahkan
bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang
diperintah oleh dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama
Islam, datang ke daerah ini untuk berdakwah. Tidak rela atas kedatangan
Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin melawan sang
Syekh. Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin
dan istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan
Nyai Rara Kidul yang merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin
bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali rakyat didaerah ini rela
menjadi pengikut Syekh Subakir.
Legenda ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak
sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan
sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah
disebutkan dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular
menjadi kepercayaan masyarakat. Apalagi pemerintah kota Magelang
menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan menempatkan
gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo
pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan
nama Tidar, seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi,
nama terminal dll. Yang semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi
legenda abadi.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran
kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu,
semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya
untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang
mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing
hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir
gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika
dene ta kaliwat-liwat”
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di
pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech
Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia?
Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun
itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia
di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam
Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan
sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir
dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum
mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang
winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo
Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi
pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang
mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang
dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah
manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih
kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak
inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen
Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah
isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para
demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan
serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh
Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai
tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan
anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa
jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana
manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula
sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih
dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia,
masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini
sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar
dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan
manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak
sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada
intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.
Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan
sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan
silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra
dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang
Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang
Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah
Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak
Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad
Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal.
Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang
Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian
pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek”
Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad
Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana
kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi
terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan
Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas
(saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur
Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis
pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti
kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun
(sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet
dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam
sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku
Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke
Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa
sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian
terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati”
kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini
kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun
sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning
(pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng
Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal
dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka
orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau
menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku
Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu
230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam
siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak
akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari
berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak
versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian,
menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua
di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan
dunia manapun.
Salam Rahayu…..
*) Catatan : Keling, dalam wikipedia adalah daerah yang sekarang bernama India (benua Keling), seperti tercantum dalam sejarah melayu.Pada masa iniperkataan ini kebiasaannya merujuk kepada suku bangsaDravida termasuk kaum Tamil, Telugu dan Malayalam. Di kawasan yang dulunya Kalinga, penduduknya pada hari ini bertutur dalam bahasa Bahasa Telugu dan Bahasa Oriya.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran
kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu,
semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya
untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang
mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing
hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir
gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika
dene ta kaliwat-liwat”
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di
pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech
Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia?
Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun
itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia
di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam
Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan
sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir
dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum
mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang
winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo
Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi
pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang
mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang
dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah
manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih
kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak
inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen
Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah
isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para
demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan
serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh
Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai
tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan
anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa
jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana
manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula
sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih
dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia,
masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini
sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar
dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan
manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak
sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada
intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.
Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan
sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan
silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra
dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang
Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang
Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah
Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak
Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad
Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal.
Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang
Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian
pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek”
Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad
Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana
kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi
terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan
Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas
(saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur
Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis
pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti
kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun
(sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet
dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam
sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku
Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke
Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa
sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian
terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati”
kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini
kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun
sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning
(pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng
Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal
dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka
orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau
menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku
Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu
230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam
siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak
akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari
berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak
versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian,
menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua
di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan
dunia manapun.
Salam Rahayu…..
*) Catatan : Keling, dalam wikipedia adalah daerah yang sekarang bernama India (benua Keling), seperti tercantum dalam sejarah melayu.Pada masa iniperkataan ini kebiasaannya merujuk kepada suku bangsaDravida termasuk kaum Tamil, Telugu dan Malayalam. Di kawasan yang dulunya Kalinga, penduduknya pada hari ini bertutur dalam bahasa Bahasa Telugu dan Bahasa Oriya.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran
kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu,
semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya
untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang
mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing
hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir
gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika
dene ta kaliwat-liwat”
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di
pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech
Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia?
Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun
itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia
di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam
Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan
sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir
dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum
mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang
winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo
Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi
pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang
mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang
dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah
manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih
kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak
inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen
Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah
isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para
demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan
serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh
Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai
tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan
anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa
jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana
manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula
sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih
dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia,
masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini
sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar
dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan
manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak
sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada
intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.
Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan
sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan
silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra
dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang
Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang
Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah
Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak
Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad
Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal.
Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang
Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian
pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek”
Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad
Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana
kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi
terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan
Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas
(saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur
Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis
pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti
kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun
(sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet
dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam
sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku
Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke
Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa
sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian
terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati”
kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini
kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun
sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning
(pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng
Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal
dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka
orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau
menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku
Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu
230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam
siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak
akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari
berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak
versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian,
menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua
di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan
dunia manapun.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran
kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu,
semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya
untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang
mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing
hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir
gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika
dene ta kaliwat-liwat”
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di
pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech
Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia?
Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun
itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia
di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam
Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan
sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir
dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum
mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang
winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo
Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi
pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang
mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang
dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah
manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih
kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak
inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen
Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah
isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para
demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan
serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh
Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai
tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan
anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa
jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana
manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula
sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih
dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia,
masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini
sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar
dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan
manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak
sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada
intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.
Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan
sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan
silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra
dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang
Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang
Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah
Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak
Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad
Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal.
Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang
Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian
pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek”
Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad
Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana
kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi
terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan
Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas
(saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur
Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis
pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti
kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun
(sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet
dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam
sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku
Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke
Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa
sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian
terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati”
kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini
kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun
sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning
(pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng
Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal
dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka
orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau
menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku
Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu
230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam
siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak
akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari
berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak
versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian,
menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua
di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan
dunia manapun.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran
kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu,
semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya
untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang
mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing
hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir
gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika
dene ta kaliwat-liwat”
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di
pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech
Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia?
Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun
itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia
di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam
Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan
sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir
dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum
mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang
winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo
Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi
pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang
mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang
dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah
manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih
kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak
inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen
Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah
isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para
demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan
serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh
Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai
tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan
anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa
jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana
manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula
sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih
dhedhukuh Rebabu arga”
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia,
masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini
sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar
dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan
manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak
sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada
intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa.
Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan
sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan
silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra
dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang
Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang
Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah
Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak
Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad
Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal.
Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang
Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian
pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek”
Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad
Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana
kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi
terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan
Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas
(saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur
Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG
menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis
pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti
kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun
(sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet
dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam
sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku
Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke
Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa
sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian
terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati”
kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini
kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun
sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning
(pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng
Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal
dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka
orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau
menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku
Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu
230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam
siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak
akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari
berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak
versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian,
menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua
di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan
dunia manapun.